Perlukah Amikom Mempunyai Sistem Penunjang Keputusan untuk Mahasiswa?

Sebut saja A, ia mahasiswa yang ngikut kanan dan ngikut kiri. Karena teman-temannya banyak yang mengambil langkah ke kiri, dia ikutan ambil ke kiri. Hingga dia menjalani keputusan tersebut dan baru sadar jika dia tidak kompeten dalam bidang tersebut.

A tetap menjalani keputusan yang telah diambilnya karena hanya itu jalan satu-satunya untuk tetap bersama teman-temannya. Hingga waktunya tiba, menjalani keputusan. Ia tersadar jika apa yang telah ia putuskan ternyata salah.

Bagaimana pun, A harus tetap menjalani keputusan tersebut hingga akhir nanti.

Andai saja A mempunyai kemampuan untuk mengukur kompetensinya, pasti akan mempermudah A untuk menjalani keputusan berdasarkan kemampuannya.

Itulah ilustrasi pendek yang pernah saya temui saat aktif kuliah dulu.

Sistem pendukung keputusan (Inggris: decision support systems disingkat DSS) adalah bagian dari sistem informasi berbasis komputer (termasuk sistem berbasis pengetahuan (manajemen pengetahuan)) yang dipakai untuk mendukung pengambilan keputusan dalam suatu organisasi atau perusahaan. (Credit: Wikipedia.org)

Pernahkan kita berpikir jika segala sesuatu yang kita ambil adalah sesuatu yang direkomendasikan berdasarkan histori? Segala sesuatu yang hendak kita ambil telah disiapkan dengan matang dengan mengambil data-data atau informasi masa lalu.

Sehingga sebuah keputusan dapat mendekati kata ‘tepat’, dalam kata lain tidak melenceng jauh seperti narasi di awal post ini.

Menilik dan menelusuri kampus ungu ini, kampus yang berbasis IT (dulunya) yang sekarang berubah menjadi kampus yang majemuk. Seharusnya mempunyai sebuah sistem penunjang keputusan yang dapat menolong mahasiswa-mahasiswa hilang arah lebih tepatnya tak tahu arah.

Menurut hipotesa saya, mahasiswa seperti A di atas tidak hanya satu di Amikom. Ada banyak sekali bahkan jari tangan dan kaki tidak sanggup untuk menghitungnya. Tidak percaya? Silahkan jika selo dan berani temui mahasiswa-mahasiswa yang suka ngumpul itu.

Itu baru satu kumpulan, di Amikom saat hari aktif kuliah ada banyak sekali kumpulan mahasiswa-mahasiswa. Silahkan diprediksi saja, jika satu kumpulan mahasiswa ada 1-2 orang yang salah ambil konsentrasi. Silahkan hitung pakai hitungan dzikir, lebih dari 33 kali.

Sampai sejauh ini, langkah apa yang telah dilakukan oleh Amikom untuk mengatasi hal seperti ini? Memberikan dosen wali untuk beberapa lusin mahasiswa?

Dosen wali sudah tidak efektif lagi, hal ini saya temukan saat ngobrol dengan mahasiswa akhir kala itu (semoga dia sudah lulus, amien). Semoga saya salah, ia mengaku semester 6 dan selama itu dia belum pernah bertemu dengan wali dosen. Lebih ironisnya, dia tidak tahu siapa dosen walinya.

Jika saya punya pabrik tisue, sudah tak habiskan sendiri untuk menangisi hal tersebut. Wkwk… Menangisi nasib saya juga yang belum kunjung lulus. Ngomong-ngomong, saya juga belum pernah bertemu apa lagi melihat secara langsung dosen wali saya. Hikz… Habis sudah tisue satu pabrik. Ironi di atas ironi.

Bersambung….

 

Lulusan Amikom yang Mana yang Menjadi Pengusaha?

Pengusaha yang mana yang menjadi pengusaha?
Mahasiswa yang mana yang menjadi pengusaha? | Credit: entrepreneur.com

Menjadi pengusaha adalah salah satu keinginan dari setiap insan di dunia ini, tidak terkecuali mahasiswa STMIK Universitas Amikom Yogyakarta. Beberapa di antara mereka masuk Amikom karena tertarik ingin menjadi pengusaha. Pasalnya, browsur yang dibagikan oleh Amikom kepada calon mahasiswa terdapat kata dan persentase “20% DARI ALUMNI DITARGETKAN JADI PENGUSAHA”. Salah satu mahasiswa tersebut adalah saya. Hikz…

Brosur Amikom yang menampilkan angka 20% dari lulusannya (alumni) menjadi pengusaha.
Brosur Amikom yang menampilkan angka 20% dari lulusannya (alumni) menjadi pengusaha.

Kalau tidak salah, brosur angkatan 2013 memberikan nilai 30%. Sampai detik ini pun masih menunjukkan angka 30%. Silahkan dicek di laman berikut Informasi Enterpreneur Days ke 60

Pada tempo hari, tepatnya gathering pengusaha Amikom pada saat dies natalis STMIK Amikom Yogyakarta tahun 2016 (kalau ga salah lagi). Prof. Suyanto menyampaikan bahwa, lulusan Amikom 97-sekian % minimal 3 bulan lulus telah terserap lapangan pekerjaan. (Mohon dikoreksi jika saya salah).

Saya waktu itu berpikir keras untuk memposisikan diri saya. Kelak, saya akan masuk di 97-sekian % tersebut atau masuk di sisanya. Saya pikirkan sampai detik ini juga. Alhamdulillah berkat terus memikirkan hal tersebut, sampai sekarang saya belum berani lulus. Wkwkw…

Kenapa seperti itu? Menurut hemat saya. Angka 97% tersebut sangatlah mengerikan bagi saya. Hampir 100% lulusan (alumni) Amikom menjadi karyawan semua. Kebayang ga tuh? Kalau yang pinter-pinter saja jadi karyawan, bagaimana saya yang ga lulus-lulus ini.

Banyak dari teman saya lulus cepat, bahkan ada beberapa yang lulusnya 3,5 tahun. Setdah, langsung jadi karyawan. Bukan maksud saya mendeskritkan status ‘karyawan’, melainkan kembali mengkorelasikan dengan angka 20%-30% yang ada di brosur.

Masuk Amikom mahal cuy, situ lulus 3,5 tahun? Kagak salah lu? Ibarat masuk Jogja Bay nih, bayar 70 ribu tapi belum 5 menit udah keluar aja. Wkwkwk… :v

Yang jadi pertanyaan besar saya selama ini bahkan sampai post ini diterbitkan adalah. Nilai 20%-30% itu lulusan kampus mana? Amikom kah, UPN kah, STIE kah? UII kah atau AKRB?

Hitung-hitungan 20%-30% tersebut dihitung setiap angkatan atau periode wisuda? Atau bahkan sejauh Amikom beridiri? Pertanyaan lagi. 2017 ini, ada berapa banyak lulusan Amikom yang telah jadi pengusaha?

Saya coba untuk ubek-ubek website Amikom untuk mencari persentase tersebut, dan sampai detik ini juga belum ketemu. Mungkin sudah ada yang menemukan, bisa dibagikan.

Bersambung…