Tidak semua mahasiswa ingin cepat lulus

Tidak Semua Orang Kuliah Ingin Cepat Lulus!

“Piye kabare? Suwe ra dolan. Wis lulus durung? Sambutan pertanyaan dari pak lek ketika saya mampir di kediamannya. “Belum, hehe” jawab saya singkat. Diimbuhinya lagi “Cepet lulus, biar orangtua bangga dan tidak terbebani lagi dengan biaya kuliah”.

Kalimat terakhir itu yang membuat saya tidak bisa bicara banyak lagi, hanya bisa membalas dengan kata “Iya”.

Begitulah obrolan singkat saya dengan pak lek tempo hari. Dari obrolan singkat tersebut membuat saya berpikir keras. pro dan kontra merayu keegoisan memilih yang teraman dan ternyaman saat ini.

Kembali mengenang dan mengingat ketika dulu saya memilih untuk kuliah. Memilih di kampus yang tidak tahu letaknya di mana, dan memilih jurusan yang saya kira keren. Saya pikir, hebat juga kampus ini. Bisa membuat orang lain tertarik kepadanya padahal tidak tahu apa-apa tentangnya.

Kehebatan kampus inilah yang membuat saya tidak kunjung lulus. Hebat sekali kampus ini, bisa membuat mahasiswanya tidak lulus-lulus. Wkwkwk land. Ya, setidaknya saya tahu kenapa saya tidak kunjung lulus, memilih bertahan malu belum lulus-lulus daripada malu tidak dapat kerja setelah lulus. Hehe… 🙂

Lagian tidak semua orang kuliah ingin cepat lulus, contohnya saya. Saya masih memegang pemikiran “Malu kalau lulus tapi belum dapat kerja”. Lagian tidak semua orang kuliah ingin bekerja sebagai karyawan kan, contohnya saya. Selama kuliah saya sudah lelah jadi karyawan.

Mulai dari ribetnya ngurus jadwal kuliah dengan jam kerja. Jam yang mempet antara kuliah dan kerja, sehingga harus selalu buru-buru. Harus pinter-pinternya nyari waktu untuk mengerjakan tugas kuliah saat bekerja, begitu pula sebaliknya.

Kurang lebih 12 bulan jadi karyawan rental komputer membuat saya tahu bagaimana membuka dan menutup sebuah usaha setiap harinya. Sedikit tahu juga dengan perputaran uangnya.

Sempat vakum dari dunia kerja dan ingin fokus kuliah (alasan bullshit yang ini) tapi ya anggap saja seperti itu. Selang beberapa bulan menganggur, akhirnya bekerja lagi di bidang usaha dagang, nah yang ini keterusan sampai sekarang. Usaha dagang perkonteran (pulsa, kartu perdana dan aksesoris hp), ya kalian pasti tahu usaha jenis ini.

Usaha yang sekarang sangat-sangat menjamur bahkan Daktarin sendiri angkat tangan dan kaki. Sempat saya berkirim surat elektronik (Surel) dengan Daktarin, isi dari surel saya tersebut menanyakan kenapa Daktarin tidak bisa untuk membasmi konter yang menjamur. Pihak Daktarin pun membalas dengan “Muatamu!!!” Lengkap dengan tanda seru berjumlah tiga.

Ya, mungkin ini bisa menjadi peluang untuk pihak yang bisa membersihkan jamurannya dari konter-konter, khususnya konter di Jogja biar kompetitor jadi sedikit. Hehe…

Kembali ke subtansi judul. Dari obrolan di muka tulisan ini, saya menanyakan tentang keharusan setiap mahasiswa musti lulus dan mempunyai gelar. Saya belum menemukan alasan yang begitu masuk akal di zaman keledai seperti manusia ini.

Di mana banyak sarjana tidak mempunyai standar skill sesuai bidangnya bisa lulus. Di mana kelulusan dijadikan sebagai kado untuk orangtua, padahal setelah lulus kembali ngempeng dengan orangtua. Di mana setelah lulus mempergunakan ijazahnya di bidang anak SMA/SMK bisa masuk. Di mana setelah lulus dengan predikat cum laude langsung daftar ojek online, -sialnya tidak diterima.

Stikma masyarakat khususnya orang sekitar menganggap bahwa lulus kuliah cepat dan IPK sempurna adalah sebuah keharusan dan dapat menjadi tokoh rujukan. Excuse me, may I to say? Apa sih bedanya mahasiswa yang lulus cepat dengan IPK sempurna dengan mahasiswa yang tak kunjung lulus dan kalau lulus IPK pas-pasan? Just, IPK. Not more!

Nasib dan keberuntungan yang akan berbicara di akhir, begitu kata orang yang tetap semangat di dalam mempertahankan harga diri ketika tak kunjung lulus.

Coba, kita renungkan, kenapa sih kita harus cepat lulus? Dan kenapa sih kita harus lulus? Jawaban umum dan pasti yang menjawab itu hanya orang umum adalah “Biar cepat dapat kerja”. Ada lagi jawaban yang dapat membuat dahi otomatis bergelombang, “Biar cepat kawin”.

Biar cepat dapat kerja atau biar bisa berkarier sesuai minat dan bakat. Oke, itu tidak salah dan tentu saja itu benar sesuai dengan keinginan individu. Saya tidak akan mempermasalahkan keyakinan itu, saya hanya ingin mempertanyakan saja.

Jika semua mahasiswa berpikir “Lulus kuliah cepat dan IPK cum laude adalah tujuan untuk bekerja”, maka bersiap-siap untuk berdarah-darah di medan pendaftaran dan seleksi kerja. Ini akan jauh lebih sulit dijalani dan diterima ketimbang menerima kenyataan tidak kunjung lulus kuliah.

Teringat saya oleh pesan yang disampaikan oleh dosen kala itu, “Tujuan kuliah adalah membentuk pola pikir”. Sejak saat itu sampai sekarang, saya masih mencari, pola pikir apa yang sedang dibentuk?

Pertanyaannya, siapakah yang membentuk pola pikir? Mahasiswa atau pihak kampus? Output yang terbentuk sesuai goal masing-masing pihak seperti apa? Bagaimana masing-masing pihak menyadari perubahan pola pikirnya?

Well, saya akan tetap mencari jawabannya.

Di zaman yang ilmu pengetahuan bagaikan sampah, berserakan di mana-mana dan sulit dibedakan mana yang benar dan mana yang salah. Kenapa seperti itu, silahkan lihat teman-teman mahasiswa saat ini. Sulit membedakan mana politik dan mana kebaikan HQQ dari Agama. Ingin sekali saya tertawa saat melihat teman-teman mahasiswa beraktifitas di media sosial dan berbicara tentang kedua hal tersebut.

Jadi, pola pikir siapa yang membentuk?

Terlepas dari apa tujuan kuliah, saya tetap meyakini bahwa “Kelak hal yang paling membanggakan bukanlah seberapa banyak gajimu tetapi seberapa banyak karyawanmu”.

Jika masih ada orang yang mengharuskan kuliah cepat lulus, maka katakanlah

“Lebih baik malu tidak kunjung lulus daripada malu setelah lulus tidak kunjung bekerja.”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *